Takdim Saya terhadap KH. Ma'ruf Amin dan Sikap Saya terhadap Ahok


Takdim Saya terhadap KH. Ma'ruf Amin dan Sikap Saya terhadap Ahok
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Saya turut mengamati dan menyimak perkembangan kasus yang menimpa Ahok terkait dengan dugaan penistaan agama. Kita mesti merunut persoalan ini dengan jelas, terutama sikap kita atas tafsir kata 'awliya' dalam QS. Al-Maidah 51.

Sebetulnya saya sangat berharap ada pernyataan resmi dan tegas dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait dengan tafsir kata 'awliya' sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Maidah 51. Bahwa kata dan ayat tersebut tidak boleh dipolitisir dan bukan disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis.

Sebagaimana dijelaskan terakhir kali oleh Katib Am PBNU yakni KH. Yahya Cholil Staquf bahwa tidak ada satu tafsir pun yang memaknai bahwa kata 'awliya' bermakna pemimpin politik (Gubernur, Bupati, dst). Bahkan pendapat itu banyak diamini oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, KH. Adib Rofiuddin, Zuhairi Misrawi, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dan lain-lain. Para ulama kita ini sepakat bahwa Ahok tidak menistakan agama.

Pernyataan ini yang saya inginkan keluar resmi dan tegas dari PBNU melalui Ketua Tanfidziyah maupun Rais Am. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj dan KH. Ma'ruf Amin. Makanya saya justru menengarai Prof Said dan Kiai Ma'ruf berbeda pendapat dalam soal ini. Saya sendiri ikut dengan pendapat Prof Said yang mengatakan tegas; tidak ada penodaan atau penistaan terhadap Al-Qur'an dan Islam. Prof. Said berkali-kali menegaskan hanya bisa menyulut 'tersinggung' saja, tidak lebih.

Perbedaan pendapat tersebut semakin jelas manakala Prof. Said menyerukan agar nahdliyin tidak turut dalam aksi 411 dan aksi serupa lainnya. Prof Said juga melarang agar simbol-simbol NU tidak disertakan dalam aksi-aksi tersebut. Meskipun nyatanya tidak sedikit nahdliyin yang turut dalam aksi tersebut sembari membawa simbol-simbol NU. 

Sementara Kiai Ma'ruf melalui MUI bukan melalui PBNU mengeluarkan fatwa 'penistaan' terhadap Ahok dan ini yang menyulut adanya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-MUI (GNPF-MUI) dan FPI yang seolah-olah mendapat restu dari MUI untuk menjerat Ahok. Jadi jelas ujung pangkal persoalan ini ada pada MUI yakni KH. Ma'ruf Amin. 

Jadi sederhananya kalau saja tidak ada fatwa MUI, kasus ini tidak akan ramai dan berlarut-larut. Sikap saya sama persis dengan Zuhairi Misrawi (Gus Mis) sebagaimana tertera dalam Surat Terbuka Gus Mis untuk KH. Ma'ruf Amin. Yang belum baca surat terbuka itu silakan baca. Surat terbuka bernada kritik tapi bernada takdim dan santun.

Jujur, saya sempat kecewa ketika Muktamar NU ke-33 mendaulat KH. Ma'ruf Amin sebagai Rais Am. Saya berharap Gus Mus yang harus tetap menjadi Rais Am. Meskipun Gus Mus menolak saat itu, harapan saya tetap sama, semoga muktamirin tetap mendaulat Gus Mus menjadi Rais Am. Tetapi memang takdir berbicara lain.

Sepenuhnya saya takdim kepada KH. Ma'ruf Amin. Saya juga punya kewajiban untuk menjaga muruah Kiai Ma'ruf. Tetapi saya kecewa kepada sebagian nahdliyin yang tersulut emosi dan marah seperti tak terkendalikan. Pukulan balik dilayangkan para penganut 411 dan 212 bahwa ternyata nahdliyin juga pemarah sebagaimana waktu itu Gus Mus dihina dan direndahkan. Padahal saya berharap, kita, nahdliyin tidak emosi dan marah. 

Bahkan dijadikan momen itu membenturkan NU dengan Ahok. Seolah-olah Ahok akan melawan NU. Padahal Ahok sudah tabayun, meminta maaf dan sama sekali tidak ada maksud mengusut Kiai Ma'ruf ke jalur hukum. Ahok menegaskan akan melaporkan dan mengusut saksi pelapor bukan saksi ahli.

Jadi, bagi saya, ini semua adalah konsekuensi logis daripada ketidaktegasan sikap NU terhadap tafsir QS. Al-Maidah 51. Memberikan pernyataan resmi secara kelembagaan NU terhadap QS. Al-Maidah 51 bukan berarti membela Ahok tetapi membela keluhuran demokrasi dan Islam Nusantara. Bahwa bagi PBNU pemimpin non-Muslim itu diperbolehkan untuk menjadi Presiden, Gubernur dan lainnya.

Saya pikir Gus Dur adalah teladan utama kita dalam hal ini. Gus Dur adalah orang yang berani dan jujur membela dan memperjuangkan Ahok saat masih di Bangka Belitung. Gus Dur tidak memedulikan Ahok beragama Kristen. Yang jelas ini soal pemimpin politik (pelayan masyarakat) bukan soal agama. Indonesia dalam sistem demokrasi membolehkan Negaranya, Provinsi dan lainnya dipimpin oleh seorang yang Kristen, Budha dan lainnya bahkan Ahmadiyah, Syiah sekali pun. Wallaahu a'lam.

Ttd,

Mamang M Haerudin (Aa)
Calon Bupati Cirebon
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah

Sumber: Postingan Akun Facebook Mamang Haerudin

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Takdim Saya terhadap KH. Ma'ruf Amin dan Sikap Saya terhadap Ahok"

  1. inilah kalau agama di campur adukkan dengan kepentingan politik,padahal semuanya ada porsinya masing masing,yang di herankan semua umat hanya bisa membaca Al-Quran dan di mengerti caranya masing masing dimana yang sependapat berkumpul menjadi satu dan yang tidak sependapat juga berkumpul menjadi satu akhirnya terjadi 2 kekuatan yang sama sama satu akidah hanya berbeda pendapat saja saling menyerang satu sama lainnya dan saling melecehkan umat sudah merasa pintar setelah membaca tafsir memaknainya tanpa bertanya pada ulama yang memang pandai dalam menafsirkan apa yang di maksud dalam Al-quran.

    ReplyDelete

Silahkan Komentari Artikel ini

Iklan Atas Artikel

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan

Iklan Bawah Artikel

Iklan